Kamis, 12 November 2009

Kompetensi Dasar: 9.4 Mengenal dan Mengatasi Masalah sesuai dengan Buddha Dhamma

Indikator:

  • Mendefinisikan cara mengatasi masalah sesuai dengan Buddha Dhamma
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang aborsi
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang perkosaan
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang tawuran pelajar
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang euthanasia
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang kloning
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang donor anggota tubuh
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang penemuan teknologi modern
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang bayi tabung
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang internet
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang terorisme
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang narkoba
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang free sex
  • Menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang pindah agama

5 komentar:

  1. 11.menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang terorisme
    terorisme melanggar Pancasila Budhhis sila pertama .

    “Mereka yang merasa malu terhadap apa yang sebenarnya tidak memalukan, dan sebaliknya tidak merasa malu terhadap apa yang sebenarnya memalukan,…mereka yang merasa takut terhadap apa yang sebenarnya tidak menakutkan sebaliknya tidak merasa takut terhadap apa yang sebenarnya menakutkan,…mereka yang menganggap tercela apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang berpandangan salah seperti ini akan masuk ke dalam sengsara.” (Dhammapada Niraya Vagga: 316-318)

    Dewasa ini dalam masyarakat seringkali terjadi tindakan teror yang ditujukan kepada sekelompok manusia dilakukan oleh sekelompok manusia lainnya. Tujuan dari tindakan tersebut bermacam-macam, tujuan apapun namanya jika menimbulkan korban jiwa dan harta benda serta kerugian semua pihak adalah tidak dibenarkan oleh pihak manapun.

    Bercermin dari kenyataan tersebut, manusia itu sendiri sebenarnya juga diganggu oleh terorisme, terorisme ini tidak akan nampak jelas didepan mata dan berbentuk sebagai sosok makhluk manusia atau lainnya. Melainkan ada didalam diri manusia itu sendiri yaitu berupa pikiran Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian) dan Maha (kebodohan batin). Karena ketiga terorisme tersebut manusia dapat berbuat dan bertindak melalui pikiran, ucapan dan badan jasmani yang merugikan dirinya sendiri. Oleh karenanya manusia dapat bertindak tanpa rasa malu yang sebenarnya memalukan dan tidak mempunyai rasa takut yang sebenarnya menakutkan serta melakukan segala perbuatan tercela. Segala tindakannya itu selalu bersekutu dengan pikiran keserakahan, kebencian dan kebodohan batin tanpa disadarinya.

    Terorisme ini akan mengakibatkan kerugian bagi manusia yang bersangkutan berupa kelahiran dalam kehidupan berikutnya di alam sengsara yang penuh dengan penderitaan, seperti terlahir di alam setan, alam raksasa dan alam neraka serta alam binatang. “Semua makhluk dilahirkan menjadi (peta) dan raksaksa asura (asurakaya) dengan kekuatan Lobha, semua makhluk dilahirkan di alam neraka (niraya) dengan kekuatan dosa, semua makhluk dilahirkan menjadi binatang (tiracchanayoni) dengan kekuatan Moha.” (Abhidhammatasanghaha: 20-21)

    Ketiga terorisme ini tidak akan pernah pergi dengan sendirinya meninggalkan manusia, melainkan akan selalu mengikuti kemanapun manusia itu pergi dan dimanapun sedang berada. Buddha Gotama mengajarkan kepada umat Buddha untuk melatih Sati atau kewaspadaan diri dan pengendalian diri yang berguna untuk menangkal terorisme itu menyerang manusia yang bersangkutan. “…melakukan pengamatan jasmani terhadap jasmani, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya;…melakukan pengamatan perasaan terhadap perasaan, berusaha , sadar dan mengendalikan dirinya;…melakukan pengamatan terhadap pikiran, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya;…melakukan pengamatan fenomena terhadap fenomena, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya maka keserakahan dan kesedihan akan teratasi.” (Mahasatipatthana Sutta:46)

    Manfaat dari latihan tersebut adalah: “Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela; maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk alam bahagia.” (Dhammapada, Niraya Vagga: 319)

    Dengan mengetahui ini seharusnya umat Buddha senantiasa melatih dan mengembangkan kewaspadaan diri (sati) disertai pengendalian diri agar tidak terjebak dalam teror pikiran Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian) dan Maha (kebodohan batin) yang menjerumuskan manusia pada penderitaan.**

    BalasHapus
  2. 11.sambungan

    < "Mereka yang merasa malu terhadap apa yang sebenarnya tidak memalukan, dan sebaliknya tidak merasa malu terhadap apa yang sebenarnya memalukan,…mereka yang merasa takut terhadap apa yang sebenarnya tidak menakutkan sebaliknya tidak merasa takut terhadap apa yang sebenarnya menakutkan,…mereka yang menganggap tercela apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang berpandangan salah seperti ini akan masuk ke dalam sengsara." (Dhammapada Niraya Vagga: 316-318)

    Dewasa ini dalam masyarakat seringkali terjadi tindakan teror yang ditujukan kepada sekelompok manusia dilakukan oleh sekelompok manusia lainnya. Tujuan dari tindakan tersebut bermacam-macam, tujuan apapun namanya jika menimbulkan korban jiwa dan harta benda serta kerugian semua pihak adalah tidak dibenarkan oleh pihak manapun.

    Bercermin dari kenyataan tersebut, manusia itu sendiri sebenarnya juga diganggu oleh terorisme, terorisme ini tidak akan nampak jelas didepan mata dan berbentuk sebagai sosok makhluk manusia atau lainnya. Melainkan ada didalam diri manusia itu sendiri yaitu berupa pikiran Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian) dan Maha (kebodohan batin). Karena ketiga terorisme tersebut manusia dapat berbuat dan bertindak melalui pikiran, ucapan dan badan jasmani yang merugikan dirinya sendiri. Oleh karenanya manusia dapat bertindak tanpa rasa malu yang sebenarnya memalukan dan tidak mempunyai rasa takut yang sebenarnya menakutkan serta melakukan segala perbuatan tercela. Segala tindakannya itu selalu bersekutu dengan pikiran keserakahan, kebencian dan kebodohan batin tanpa disadarinya.

    Terorisme ini akan mengakibatkan kerugian bagi manusia yang bersangkutan berupa kelahiran dalam kehidupan berikutnya di alam sengsara yang penuh dengan penderitaan, seperti terlahir di alam setan, alam raksasa dan alam neraka serta alam binatang. "Semua makhluk dilahirkan menjadi (peta) dan raksaksa asura (asurakaya) dengan kekuatan Lobha, semua makhluk dilahirkan di alam neraka (niraya) dengan kekuatan dosa, semua makhluk dilahirkan menjadi binatang (tiracchanayoni) dengan kekuatan Moha." (Abhidhammatasanghaha: 20-21)

    Ketiga terorisme ini tidak akan pernah pergi dengan sendirinya meninggalkan manusia, melainkan akan selalu mengikuti kemanapun manusia itu pergi dan dimanapun sedang berada. Buddha Gotama mengajarkan kepada umat Buddha untuk melatih Sati atau kewaspadaan diri dan pengendalian diri yang berguna untuk menangkal terorisme itu menyerang manusia yang bersangkutan. "…melakukan pengamatan jasmani terhadap jasmani, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya;…melakukan pengamatan perasaan terhadap perasaan, berusaha , sadar dan mengendalikan dirinya;…melakukan pengamatan terhadap pikiran, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya;…melakukan pengamatan fenomena terhadap fenomena, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya maka keserakahan dan kesedihan akan teratasi." (Mahasatipatthana Sutta:46)

    Manfaat dari latihan tersebut adalah: "Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela; maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk alam bahagia." (Dhammapada, Niraya Vagga: 319)

    Dengan mengetahui ini seharusnya umat Buddha senantiasa melatih dan mengembangkan kewaspadaan diri (sati) disertai pengendalian diri agar tidak terjebak dalam teror pikiran Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian) dan Maha (kebodohan batin) yang menjerumuskan manusia pada penderitaan.**

    http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Buddha&id=17651

    BalasHapus
  3. 6. menunjukkan pandangan Buddha Dhamma tentang kloning
    Secara umum, definisi cloning adalah proses memperbanyak materi biologi yang dapat mencakup DNA, sel, tissue, organ, maupun organisme, dimana materi yang diperbanyak tersebut (clone) memiliki DNA yang sama dengan induknya. Karena DNA (deoxyribonucleic acid) menyimpan informasi genetik, maka clone memiliki informasi genetik yang sama dengan induknya. Ada 3 jenis cloning:
    1) DNA cloning
    2) Therapeutic cloning
    3) Reproductive cloning

    Artikel ini akan menjelaskan secara singkat ketiga jenis cloning ini, kemudian akan membahas pandangan Buddhis terhadap ketiga jenis cloning ini terutama dari segi etikanya.

    1. DNA cloning

    Apa itu DNA cloning?

    DNA cloning juga dikenal dengan sebutan molecular cloning, recombinant DNA technology, dan gene cloning. Sesuai definisi yang diberikan di atas, maka materi biologi yang diclone dalam proses DNA cloning adalah DNA itu sendiri. Dengan demikian, boleh dikatakan DNA cloning adalah jenis cloning yang paling sederhana diantara ketiga jenis cloning. Ilmuwan menggunakan recombinant DNA technology untuk memproduksi protein (protein expression & purification), mentransfeksi sel (transfection) untuk mempelajari fungsi protein tersebut di dalam sel, dan untuk berbagai aplikasi biologi lainnya.

    DNA cloning dari segi etika Buddhis

    Karena proses DNA cloning sama sekali tidak merugikan makhluk hidup, maka DNA cloning tentunya tidak bertentangan dengan etika Buddhis. DNA cloning merupakan teknik biologi yang digunakan secara luas dan bebas di laboratori-laboratori biologi di seluruh dunia.

    2. Therapeutic cloning

    Apa itu therapeutic cloning?

    Therapeutic cloning adalah proses cloning tissue maupun organ, dimana hasil clone tissue/organ tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan terapi medik. Therapeutic cloning diawali dengan proses somatic cell nuclear transfer (SCNT), dimana nucleus (inti sel) dari ovum (sel telur) diganti dengan nucleus dari sel somatik yang akan diclone (induk). Sel somatik mencakup sel-sel tubuh kecuali sel reproduktif (sperma dan ovum). Dengan kata lain, SCNT terdiri dari 3 tahap, yakni 1) melenyapkan/membuang nucleus ovum, 2) mengambil nucleus somatik, 3) menaruh nucleus somatik tersebut ke dalam ovum yang telah tak bernucleus. Jadi proses mikroskopik SCNT ini akan menghasilkan sel ovum yang nucleusnya berasal dari (telah diganti dengan) sel somatik. Sel ovum yang memiliki genetik yang sama dengan sel somatik (induk) ini kemudian akan berkembang menjadi blastocyst (tahap awal dalam pembuahan) yang mengandung stem cell, yakni sel yang mampu berkembang (differentiate) menjadi berbagai jenis sel tubuh. Stem cell inilah yang akan kemudian dibuat (induced) berkembang mejadi tissue maupun organ.

    Singkatnya, bila anda ingin mendapat jantung baru karena jantung lama anda telah rusak, maka ilmuwan akan mengambil sel tubuh anda (misalnya sel kulit anda), kemudian mengambil inti sel kulit anda tersebut dan memasukannya ke dalam sel ovum (dari pendonor wanita) yang telah dilenyapkan inti selnya terdahulu. Kemudian sel tersebut dibiarkan berkembang, dan stem cell yang dihasilkan akan diambil untuk dibuat tumbuh menjadi jantung baru anda.

    Apa manfaat therapeutic cloning?

    Manfaatnya sangat besar! Pasien yang mengalami kegagalan jantung, ginjal, dan organ penting lainnya dapat memperoleh organ baru. Mengapa kita tidak cukup mengambil organ dari pendonor? Karena sangat sulit mencari donor yang cocok dengan kita (immunohistocompatibility). Organ yang tidak cocok akan menyebabkan immune system kita menyerang organ tersebut karena tubuh kita menganggap organ tersebut sebagai ‘asing.’ Akibatnya organ tersebut akan mengalami kegagalan. Jadi manfaat therapeutic cloning itu jelas, yakni sebagai alternatif baru untuk terapi medik.

    BalasHapus
  4. 6........

    Therapeutic cloning dari segi etika Buddhis

    Walau belum terdapat kesepakatan antara para ilmuwan biologi dan kaum terpelajar Buddhis lainnya tentang therapeutic cloning ini, akan tetapi jelas bahwa dalam Buddhisme sel-sel tubuh kita tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel, tissue, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa). Jadi pertanyaannya adalah, “Di tahap mana dari embryogenesis ini mulai terbentuknya kesadaran?”

    Pertanyaan ini penting karena dalam pandangan Buddhis, makhluk hidup terdiri dari unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Hubungan antara unsur batiniah dan fisik ini adalah sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Tanpa telinga dan sistem syaraf pendengaran, kita tak akan mampu mendengar. Tanpa kesadaran yang cukup kuat, misalnya sewaktu lagi tertidur, kita juga tak akan mampu mendengar suara-suara halus yang mampu kita dengar sewaktu kita terjaga. Jadi hubungan antara unsur batiniah dan fisik ini sangatlah erat dan sulit dipisahkan. Mereka saling membutuhkan. Tapi kapankah terbentuknya unsur batiniah ini dalam proses embryogenesis?

    Stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan (Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2-8). Ini adalah saat yang paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap
    sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic cloning seharusnya tak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis.

    BalasHapus
  5. 6........

    3. Reproductive cloning

    Apa itu reproductive cloning?

    Reproductive cloning adalah proses membuat organisme baru (clone) dimana DNA clone tersebut memiliki identitas yang sama dengan DNA induknya. Proses yang digunakan dalam reproductive cloning adalah sama dengan proses therapeutic cloning, akan tetapi embryo yang terbentuk tersebut dibiarkan berkembang di dalam rahim (surrogate mother).

    Apa manfaat reproductive cloning?

    Berbagai manfaat reproductive cloning antara lain, teraihnya ras unggul di dalam industri peternakan yang akan menghasilkan hewan-hewan dan produk hewan yang unggul, membangkitkan kembali species yang telah punah, dst.

    Reproductive cloning dari segi filsafat Buddhis

    Buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuknya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti, keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali: paticcasamupada), yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha. Cloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah
    ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embryo dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embryo, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi.

    Reproductive cloning dari segi etika Buddhis

    Walau dalam aspek filsafat, reproductive cloning tak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek pragmatic, reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis. Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam cloning karena semakin pendeknya telomere (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak dipraktekan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen. Dan eksperimen-eksperimen ini tentunya memiliki kecenderungan-kecenderungan yang membentrok dengan etika Buddhis. Seandainya di masa depan proses cloning ini sudah tak mengalami permasalahan teknis, maka reproductive cloning mungkin akan dijadikan praktek masyarakat umum.

    http://dhammacitta.org/artikel/andromeda/cloning-dari-sudut-pandang-buddhis

    BalasHapus